Percepat Operasi Pasar di Pantura, Kelangkaan Pangan Ancam Ratusan Ribu Jiwa Korban Banjir
KELANGKAAN pangan, terutama beras kelas medium, mengancam ratusan ribu jiwa korban banjir di kawasan pantai utara Jawa (Pantura). Meski cadangan beras di Bulog masih bisa mengamankan kebutuhan, operasi pasar masih berlangsung secara sporadis.
Pergeseran musim panen bukan masalah sederhana. Akibat pergeseran itu, akan ada masa jeda (transisi) antara musim paceklik yang bertambah panjang ditandai persediaan pangan (beras) menipis dengan jadwal panen mundur. Sepanjang Februari-Maret tampaknya bakal menjadi bulan penuh tantangan sebab paceklik tengah memuncak di saat panen rendeng mundur.
Krisis pangan sepanjang Februari-Maret bisa jadi akan lebih parah dibandingkan "krisis pangan" Desember-Januari. Sebab persediaan beras hasil panen gadu (termasuk gadu II) di tengah masyarakat makin menipis, sementara pasokan tambahan yang diperoleh dari panen rendeng 2006 belum ada.
Ancaman tersebut tampaknya sudah terlihat gelagatnya. Di delapan pasar besar Indramayu, termasuk sentra pasar beras di Widasari, praktis pasaran beras lebih didominasi oleh beras kualitas premium, beras yang harganya di atas Rp 4.200,00/kg.
Beras kualitas medium yang kualitas dan harganya lebih rendah, sudah menjadi barang langka. Kalau dalam sepekan ini ada, beras medium tidak lain dikeluarkan oleh Bulog Subdivre setempat. Itu pun karena Bulog membuka keran beras melalui OPM (Operasi Pasar Murni) dengan pagu 4.000 ton, yang sampai akhir Januari kemarin baru dikeluarkan 500 ton.
Cadangan beras di tingkat petani (masih dalam bentuk gabah, GKG) juga sudah sangat terbatas. Kalaupun ada, petani lebih memilih untuk cadangan pangan sendiri dan tidak untuk dijual, sikap petani itu membuat pasokan beras ke pasar umum akan sangat seret.
"Cadangan yang ada hanya untuk persediaan selama masa paceklik," tutur H. Urip (39), petani dari Kec Lelea.
Seretnya suplai (pasokan) beras dari petani sebenarnya sudah berlangsung sejak akhir Desember 2006 lalu. Hal itu terlihat dari kesulitan yang dialami para pedagang beras dalam memperoleh suplai, baik pedagang beras lokal yang dijual di pasar-pasar di Indramayu maupun bandar beras di Widasari yang selama ini memasok kebutuhan beras ke Pasar Induk Cipinang, Jakarta, maupun sebagian lain ke luar Jawa seperti Sumatra dan Kalimantan.
H. Feri Priatna, salah satu bandar beras mengaku sudah sangat kesulitan memperoleh pasokan beras. Bahkan untuk mendapatkannya, dia harus pulang pergi ke Jateng dan Jatim, itupun sudah sulit untuk diperoleh.
"Saya setengah mati mencari beras sampai ke Jateng dan Jatim. Di Jateng dan Jatim beras sudah menjadi barang langka. Panen belum tiba dan disana juga banyak terjadi bencana. Kalaupun ada, harganya sudah sangat mahal. Beras premium kami beli rata-rata Rp 4.000,00/kg," ujar dia.
Pasar beras Widasari sebenarnya telah lumpuh sejak pertengahan Desember. Memasuki Februari 2006 ini, malah sudah dalam kondisi 'mati suri', puluhan gudang beras yang ada kini tak ubahnya rongga yang dipenuhi udara, tidak terlihat lagi tumpukan beras. "Cobalah keliling ke seluruh gudang di Widasari, semua sudah pada kosong," ujar Fery.
Kabulog Subdivre Indramayu, Drs. H. Dadang Edi Djumana menyatakan masih akan menunggu dua minggu sebelum melakukan operasi pasar. "Bila dua pekan ke depan gambaran krisis pangan makin nyata, kami akan koordinasi dengan Disperindag dan Pemkab untuk kemungkinan membuka keran OPM lebih besar dari yang telah disetujui sebanyak 4.000 ton," ujar dia.
Di Cirebon, ancaman kelangkaan pangan juga disertai tidak tersedianya kebutuhan sarana produksi pertanian (saprotan) seperti benih, pupuk, dan obat-obatan mendesak. Iming-iming harga gabah tinggi pun belum disambut optimis oleh mereka, akibat dihadapkan berbagai masalah, baik kebutuhan sehari-hari maupun faktor alam seperti bencana banjir.
"Kalau para petani tidak dibantu saprotan, terutama benih dan pupuk karena hilang ditelan banjir, tentu saja akan mengganggu target produksi padi di Kabupaten Cirebon yang selama ini surplus," kata Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Kab. Cirebon Ali Efendi. Data sementara perkiraan yang bakal dilakukan replanting (tanam ulang) sekira 3.000 - 4.000 hektare.
Dasira (55), seorang petani di Desa Suranenggala Kidul Kec. Kapetakan mengatakan, air yang menggenangi areal sawahnya bila selama empat hari tidak surut, maka akan gagal panen. Sementara biaya yang telah dikeluarkan dari mulai mengolah lahan, tanam, sampai pemupukan mencapai jutaan.
"Bila empat hari air belum surut, tidak hanya saya, para petani di Kapetakan akan mengalami kerugian cukup besar. Sedangkan selama banjir, tidak ada pekerjaan lain yang bisa dilakukan, kecuali mengandalkan dari hasil sawah," kata Dasira yang memiliki lahan seluas 1,5 hektare.
Kepala Bagian (Kabag) Perekonomian Setda Kab. Cirebon H.Moh. Sofyan, S.H., M.H., menyatakan, pihaknya berencana akan mengirimkan beras raskin ke daerah-daerah tersebut tanpa melihat aturan baku yang ada.
Kepala Subdivre Perum Bolog Wilayah Karawang, Ir. Nasrun Rahmani menyatakan pergeseran waktu penen tidak terlalu berpengaruh terhadap pengadaan dan stok beras di gudang Bolog.
"Saat ini stok beras digudang kami masih ada 42 ribu ton. Stok sebanyak itu cukup untuk memenuhi kebutuhan raskin selama 5 bulan ke depan. Artinya, pergeseran waktu panen tidak akan membuat kita kelimpungan kekurangan beras," tegasnya.
Apalagi, sambung Nasrun, banjir di Karawang tidak sampai menenggelamkan areal sawah siap panen. Banjir tersebut, sebagian besar hanya menerjang areal sawah di pantai utara yang baru beberapa pekan ditanami. Dengan demikian, secera keseluruhan penen raya di Karawang tidak mengalami pergeseran berarti. "Pada awal Pebruari ini pun areal sawah yang di panen cukup luas, sehingga stok beras di pasar-pasar bebas tidak akan terganggu," tuturnya.
Kasubdin Perlindungan Tanaman (Perlintan) Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura (Dipertan) Kabupaten Subang, Drs. Agus Taruna menyatakan, meski banjir telah membusukan tanaman padi namun tidak akan mengganggu produki maupun masa panen.
"Masa panen paling juga mengalami kemunduran satu bulan. Diperkirakan areal tanaman padi yang terkena banjir bakal di-replanting lagi (penanam kembali) bila mengalami pembusukan," ungkapnya.
Ia memperkirakan musim panen tanaman padi pada musim tanam rendeng yang jatuh pada Bulan Oktober 2005-Maret 2006, namun karena ada bencana banjir yang menimpa areal persawahan seluas 10% dari total areal tanaman padi sebanyak 84 ribu hektar, maka akan terjadi kemunduran masa panen.
Pergeseran musim panen bukan masalah sederhana. Akibat pergeseran itu, akan ada masa jeda (transisi) antara musim paceklik yang bertambah panjang ditandai persediaan pangan (beras) menipis dengan jadwal panen mundur. Sepanjang Februari-Maret tampaknya bakal menjadi bulan penuh tantangan sebab paceklik tengah memuncak di saat panen rendeng mundur.
Krisis pangan sepanjang Februari-Maret bisa jadi akan lebih parah dibandingkan "krisis pangan" Desember-Januari. Sebab persediaan beras hasil panen gadu (termasuk gadu II) di tengah masyarakat makin menipis, sementara pasokan tambahan yang diperoleh dari panen rendeng 2006 belum ada.
Ancaman tersebut tampaknya sudah terlihat gelagatnya. Di delapan pasar besar Indramayu, termasuk sentra pasar beras di Widasari, praktis pasaran beras lebih didominasi oleh beras kualitas premium, beras yang harganya di atas Rp 4.200,00/kg.
Beras kualitas medium yang kualitas dan harganya lebih rendah, sudah menjadi barang langka. Kalau dalam sepekan ini ada, beras medium tidak lain dikeluarkan oleh Bulog Subdivre setempat. Itu pun karena Bulog membuka keran beras melalui OPM (Operasi Pasar Murni) dengan pagu 4.000 ton, yang sampai akhir Januari kemarin baru dikeluarkan 500 ton.
Cadangan beras di tingkat petani (masih dalam bentuk gabah, GKG) juga sudah sangat terbatas. Kalaupun ada, petani lebih memilih untuk cadangan pangan sendiri dan tidak untuk dijual, sikap petani itu membuat pasokan beras ke pasar umum akan sangat seret.
"Cadangan yang ada hanya untuk persediaan selama masa paceklik," tutur H. Urip (39), petani dari Kec Lelea.
Seretnya suplai (pasokan) beras dari petani sebenarnya sudah berlangsung sejak akhir Desember 2006 lalu. Hal itu terlihat dari kesulitan yang dialami para pedagang beras dalam memperoleh suplai, baik pedagang beras lokal yang dijual di pasar-pasar di Indramayu maupun bandar beras di Widasari yang selama ini memasok kebutuhan beras ke Pasar Induk Cipinang, Jakarta, maupun sebagian lain ke luar Jawa seperti Sumatra dan Kalimantan.
H. Feri Priatna, salah satu bandar beras mengaku sudah sangat kesulitan memperoleh pasokan beras. Bahkan untuk mendapatkannya, dia harus pulang pergi ke Jateng dan Jatim, itupun sudah sulit untuk diperoleh.
"Saya setengah mati mencari beras sampai ke Jateng dan Jatim. Di Jateng dan Jatim beras sudah menjadi barang langka. Panen belum tiba dan disana juga banyak terjadi bencana. Kalaupun ada, harganya sudah sangat mahal. Beras premium kami beli rata-rata Rp 4.000,00/kg," ujar dia.
Pasar beras Widasari sebenarnya telah lumpuh sejak pertengahan Desember. Memasuki Februari 2006 ini, malah sudah dalam kondisi 'mati suri', puluhan gudang beras yang ada kini tak ubahnya rongga yang dipenuhi udara, tidak terlihat lagi tumpukan beras. "Cobalah keliling ke seluruh gudang di Widasari, semua sudah pada kosong," ujar Fery.
Kabulog Subdivre Indramayu, Drs. H. Dadang Edi Djumana menyatakan masih akan menunggu dua minggu sebelum melakukan operasi pasar. "Bila dua pekan ke depan gambaran krisis pangan makin nyata, kami akan koordinasi dengan Disperindag dan Pemkab untuk kemungkinan membuka keran OPM lebih besar dari yang telah disetujui sebanyak 4.000 ton," ujar dia.
Di Cirebon, ancaman kelangkaan pangan juga disertai tidak tersedianya kebutuhan sarana produksi pertanian (saprotan) seperti benih, pupuk, dan obat-obatan mendesak. Iming-iming harga gabah tinggi pun belum disambut optimis oleh mereka, akibat dihadapkan berbagai masalah, baik kebutuhan sehari-hari maupun faktor alam seperti bencana banjir.
"Kalau para petani tidak dibantu saprotan, terutama benih dan pupuk karena hilang ditelan banjir, tentu saja akan mengganggu target produksi padi di Kabupaten Cirebon yang selama ini surplus," kata Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Kab. Cirebon Ali Efendi. Data sementara perkiraan yang bakal dilakukan replanting (tanam ulang) sekira 3.000 - 4.000 hektare.
Dasira (55), seorang petani di Desa Suranenggala Kidul Kec. Kapetakan mengatakan, air yang menggenangi areal sawahnya bila selama empat hari tidak surut, maka akan gagal panen. Sementara biaya yang telah dikeluarkan dari mulai mengolah lahan, tanam, sampai pemupukan mencapai jutaan.
"Bila empat hari air belum surut, tidak hanya saya, para petani di Kapetakan akan mengalami kerugian cukup besar. Sedangkan selama banjir, tidak ada pekerjaan lain yang bisa dilakukan, kecuali mengandalkan dari hasil sawah," kata Dasira yang memiliki lahan seluas 1,5 hektare.
Kepala Bagian (Kabag) Perekonomian Setda Kab. Cirebon H.Moh. Sofyan, S.H., M.H., menyatakan, pihaknya berencana akan mengirimkan beras raskin ke daerah-daerah tersebut tanpa melihat aturan baku yang ada.
Kepala Subdivre Perum Bolog Wilayah Karawang, Ir. Nasrun Rahmani menyatakan pergeseran waktu penen tidak terlalu berpengaruh terhadap pengadaan dan stok beras di gudang Bolog.
"Saat ini stok beras digudang kami masih ada 42 ribu ton. Stok sebanyak itu cukup untuk memenuhi kebutuhan raskin selama 5 bulan ke depan. Artinya, pergeseran waktu panen tidak akan membuat kita kelimpungan kekurangan beras," tegasnya.
Apalagi, sambung Nasrun, banjir di Karawang tidak sampai menenggelamkan areal sawah siap panen. Banjir tersebut, sebagian besar hanya menerjang areal sawah di pantai utara yang baru beberapa pekan ditanami. Dengan demikian, secera keseluruhan penen raya di Karawang tidak mengalami pergeseran berarti. "Pada awal Pebruari ini pun areal sawah yang di panen cukup luas, sehingga stok beras di pasar-pasar bebas tidak akan terganggu," tuturnya.
Kasubdin Perlindungan Tanaman (Perlintan) Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura (Dipertan) Kabupaten Subang, Drs. Agus Taruna menyatakan, meski banjir telah membusukan tanaman padi namun tidak akan mengganggu produki maupun masa panen.
"Masa panen paling juga mengalami kemunduran satu bulan. Diperkirakan areal tanaman padi yang terkena banjir bakal di-replanting lagi (penanam kembali) bila mengalami pembusukan," ungkapnya.
Ia memperkirakan musim panen tanaman padi pada musim tanam rendeng yang jatuh pada Bulan Oktober 2005-Maret 2006, namun karena ada bencana banjir yang menimpa areal persawahan seluas 10% dari total areal tanaman padi sebanyak 84 ribu hektar, maka akan terjadi kemunduran masa panen.
0 Komentar:
Post a Comment
<< Halaman Index